Introducing DL Freight 2.0

Last month marked the one year anniversary of our launch of DL Freight and we’ve been celebrating the platform’s journey and accomplishments. Even though it feels amazing to have reached this…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Heart to Heart

Jayendra Maheswara, 22.

Ting Tong!

Nadira yang sedang membaca novel di sofa ruang tengah spontan menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari area depan rumah. Namun karena sedang asyik, gadis itu mencoba tak mengindahkannya dan kembali fokus pada novel yang ia pegang di tangan.

Toh, akan ada Bi Ijah yang membukakan pintunya nanti, pikir Nadira.

Anehnya, setelah lama ditunggu Nadira masih tidak mendengar suara Bi Ijah yang panik berlari menuju pintu depan — seperti biasa saat kedua orangtuanya pulang.

Ting Tong!

Nadira menghela napas panjang, agak kesal. Ia benar-benar sedang dalam posisi nyamannya, bacaannya belum selesai dan ia sangat malas kalau harus bergerak ke depan sekarang.

Tapi siapapun yang di pintu pasti menunggu untuk dibukakan. Tidak sopan juga kalau dibiarkan.

“Yaudah deh, gue aja,” gumamnya sembari bangkit dari sofa.

Nadira memakai sandal rumahnya lalu berjalan malas-malasan dengan langkah diseret ke pintu utama. Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, terdengar teriakan ibunya dari lantai atas.

“Nad! Biar Mam saja yang bukakan pintu! Teman Mam tadi bilang, dia mau bawa sesuatu untuk Mam dan untuk orang-orang di rumah. Mungkin saja itu yang antar!” teriakan panjang wanita bernama Danica yang Nadira panggil dengan sebutan ‘Mam’ itu menggema di rumahnya yang sepi hingga membuat Nadira kaget dan sontak menghentikan langkah.

“Okay! Cepat, Mam! Sudah ditunggu dari tadi!” sahutnya dengan suara yang dikeraskan agar dapat didengar oleh ibunya yang masih belum menampakkan diri.

Twee minuten! (Dua menit)” teriak wanita berdarah Belanda itu entah dari mana. Nadira pun akhirnya berpasrah dan menunggu di tempatnya.

Setelah berlarian heboh menuruni tangga, Mam hadir di lantai satu dengan setelan baju yang cukup rapi — dengan blus dan celana panjang — sangat berbeda jika dibandingkan dengan kebiasaannya menggunakan daster khas ibu-ibu kalau sedang di rumah. Penampilan rapinya itu membuat Nadira mengernyit aneh.

Mam mau ke mana?” Tatapan mata gadis itu bergerak naik-turun menilai penampilan ibunya yang kini berjalan kian mendekat. “Mengapa netjes sekali? (Mengapa rapi sekali?)

Danica hanya tersenyum membalas pertanyaan Nadira, dan dengan gerakan tiba-tiba gadis itu dapat merasakan tangan sang ibu yang meraih lengannya dan menariknya. “Ikut Mam, ke depan.”

Sudah ditarik begitu mana bisa melawan? Nadira pun menurut dan mengekori Danica hingga ke pagar. Sepanjang jalan gadis itu menunduk dengan langkahnya yang lambat dan ogah-ogahan, hingga ibunya itu harus menariknya dengan tenaga ekstra untuk menjaga agar Nadira tetap berada di dekatnya.

“Halo, sudah lama menunggu, ya, vent? Sorry, Bi Ijah mungkin sedang sibuk di belakang jadi tidak mendengar dengan baik,” sambut Mam sembari membukakan pintu pagar dan membiarkan tamu itu masuk. “Ayo, masuk.”

Vent? Laki-laki?

“Nggak, kok, Tante. Saya juga baru datang.”

Deg.

Nadira merasakan tubuhnya membeku. Udara di sekitar gadis itu mendadak terasa begitu dingin dan menyergapnya tanpa ampun. Telapak tangan Nadira seketika basah oleh keringat selagi otaknya memproses suara nge-bass yang ditangkap oleh telinganya.

Gadis itu coba mengangkat wajahnya sedikit dan sesosok lelaki dengan jaket kulit serta setelan serba hitam memenuhi netranya.

Tidak perlu memandang lama untuk tahu siapa yang datang.

Ditambah kulitnya yang cerah, matanya yang menghilang saat lelaki itu sedang tersenyum kepada ibunya; sudah tidak dapat diragukan lagi.

“Jayen…” bisik Nadira ke dirinya sendiri. Kedua netra gadis itu beralih pada sebuket bunga tulip putih yang ada di genggaman tangan kiri Jayendra.

Jayendra Maheswara dan tulip putih.

Kesukaannya, dulu.

Dia mau ngapain kesini?

“Jangan langsung pulang, ya? Ikut diner di sini dulu,” ajak wanita berusia empat puluhan itu yang menuai protes dari putrinya, Nadira. Gadis itu sudah melotot pada ibunya, namun tak dipedulikan.

“Makan apa saja suka, kan, vent?” tanya wanita itu lagi sambil menuntun Jayendra untuk menuju ke ruang makan.

Jayendra membalas dengan anggukan dan senyum yang lebar, “Suka, Tante.” yang dihadiahi tatapan super mematikan oleh Nadira dari kejauhan. Jayendra jelas sadar, tapi lelaki itu berusaha tak acuh sebab ia punya tujuannya sendiri datang kemari.

Nadira yang kesal karena diabaikan oleh Danica dan Jayendra sempat berdiam diri cukup lama di tempatnya duduk. Gadis itu berniat mogok makan malam ini karena sang ibu mengundang mantan kekasihnya itu untuk bergabung dengan mereka tanpa meminta persetujuannya.

Aku tau Mam pura-pura bodoh, batin Nadira. Gadis itu mengacak rambutnya frustasi. “Ahhh kenapa, sih, muncul lagi?!”

“Nad, jij tidak mau ikut diner? (Nad, kamu tidak mau ikut makan malam?) Bi Ijah buat sup kacang merah kesukaanmu.” panggil Danica dari meja makan, lebih tepatnya, sengaja menggoda Nadira.

Sial.

“Siapa yang mau nolak sup kacang merah?” gerutu gadis itu lantas buru-buru mengangkat bokongnya dan berlari ke meja makan.

Senyum penuh kemenangan terukir cantik di wajah ibunya. Wanita itu sedang mengambilkan makanan untuk Jayendra kala Nadira tiba di meja makan. Sama sekali tak ia pedulikan raut kesal yang terpancar dari wajah putrinya itu.

“Jayen mau tunggu di sini, kan, sampai Oom pulang? Katanya ada yang mau dibicarakan?”

Jayendra menerima piring yang penuh dengan makanan dan mengangguk patuh. “Iya, Tante. Ada yang mau Jayen bicarakan sama Om.”

“Ngomongin apaan, lo?” sambar Nadira saat dirinya tengah menuang sup kacang merah ke mangkuk kecilnya. “Mending lo langsung balik, abis ini.”

“Sopan sedikit, Nadira.”

Nadira menoleh cepat pada ibunya, “Mam belain Jayen?!”

Wanita itu menggeleng, “Nee, tapi Mam juga tidak suka melihat kamu ketus begitu sama tamu.”

“Dia bukan sekedar tamu. Mam tau itu,” sungut Nadira seraya meletakkan dengan kasar mangkuknya ke atas meja, menimbulkan suara berdenting yang keras. “Ah, udahlah, aku nggak mood diner. Doei.”

Gadis itu lantas berdiri dan berlari menuju ke lantai atas rumahnya. Jayendra langsung ikut berdiri hendak menyusul Nadira ke atas, tak lupa dengan buket bunga yang sejak tadi ia jaga di sampingnya. “Saya nyusulin ke atas dulu, Tante,” pamitnya yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Danica.

Sesampainya Jayendra di depan kamar Nadira, ia mencoba untuk mengetuk pintu besar berwarna putih di hadapannya sebanyak tiga kali dan memanggil nama mantan kekasihnya.

“Nad?”

Namun tetap, tak ada jawaban. Jayendra mengedarkan pandangannya ke sekeliling, netranya lantas menangkap pintu menuju ke rooftop dalam keadaan terbuka. Dengan yakin lelaki itu langsung berjalan cepat kesana.

Nadira benar ada di sana. Gadis bernama lengkap Nadira Yassika de Jongh yang berstatus mantan kekasihnya sejak tiga bulan lalu itu duduk sendirian, di bangku panjang yang selalu menjadi kesukaan mereka, dulu.

Di area rooftop ini ada sofa yang memiliki atap pelindung di atasnya, tapi juga ada bangku panjang yang beratapkan langit di sisi lainnya. Kalau hari hujan, Nadira dan Jayendra lebih suka nongkrong di sofa beratap, tapi kalau hari cerah, bangku panjang tentu menjadi pilihan mereka.

Seperti malam ini.

“Nad,” panggil Jayendra halus. Dengan langkah pelan lelaki itu berjalan mendekat ke arah Nadira yang memunggunginya. Kepala gadis itu menengadah, menatap benda berkelip di atas sana.

Yang dipanggil menoleh sekilas, lalu kembali pada pemandangan langit malamnya. Terdengar helaan napas keras dari gadis itu sebelum ia mendesis, “Pulang, sana.”

Langkah Jayendra tertahan. Tadi, ia mungkin bisa mengabaikan kalimat-kalimat kasar yang dilontarkan oleh Nadira karena masih ada Tante Danica di antara mereka. Tapi ketika sekarang mereka hanya berdua, kalimat mengusir yang diucapkan oleh gadis itu terdengar beribu kali lebih menyakitkan.

“Nad,” panggil Jayendra lagi. Lelaki itu mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. “Dengerin gue dulu, sekali aja.”

Meskipun suasana di sekitar mereka sangat gelap, namun dari tempatnya berdiri Jayendra dapat melihat Nadira yang mengangguk lemah menyetujui permintaannya.

“Sekali aja, Yen.”

Lelaki itu tersenyum sekilas, mencoba meyakinkan dirinya untuk mendekat lalu dengan perlahan mendudukkan diri di samping Nadira.

Hening sempat menyelimuti mereka selama beberapa saat sampai Nadira membuka mulutnya dan bertanya, “Sebenarnya, apa tujuan lo ke sini?” gadis itu menoleh pada Jayendra di sampingnya. “Tolong jelasin ke gue dengan singkat, padat dan jelas. Gue nggak mood buat ngobrol panjang lebar.”

Jayendra ikut menoleh hingga kedua mata mereka akhirnya saling menemukan. “Gue kesini mau ngobrol heart to heart sama lo. Gue rasa masih banyak hal yang belum kita bicarain sampai tuntas di perpisahan kita tiga bulan lalu. Gue ngerasa ada yang ngeganjel.”

Lelaki itu berusaha tenang dan mengulurkan tangannya untuk memberikan buket bunga yang ia bawa. “Buat lo.”

“Tulip putih,” gumam Nadira pelan sekali, nyaris berbisik. “Did you come here to apologize?

And explaining the things that you need to hear and make them all clear for us,” sambung Jayendra seraya berjongkok di depan Nadira dan dengan hati-hati menyentuh tangan mantan kekasihnya itu.

Sentuhan jemari tangan Jayendra di kulitnya membuat Nadira langsung merasa sesak. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba untuk mengusir riak air yang hendak memenuhi bendungan matanya.

“Nad,” panggil Jayendra lagi, berusaha membuat Nadira mau menatap ke arahnya. “Gue, Jayendra Maheswara, datang ke sini buat memperbaiki hubungan gue sama lo.”

“Hubungan yang udah kandas tiga bulan lalu?”

Jayendra mengangguk. “Iya, hubungan kita yang itu. Lo boleh anggap udah nggak ada apa-apa di antara kita, tapi enggak bagi gue. Gue di sini mau nyoba buat memperbaiki semuanya. Setidaknya gue mau berusaha, Nad.”

“Telat,” tandas Nadira pahit. “Hubungannya udah basi, Jayendra. Kita putus udah tiga bulan yang lalu, dan lo baru muncul sekarang buat perbaikin semuanya?”

Ada jeda hening sebelum Jayendra membuka mulutnya lagi, “Segitu bencinya lo sama gue, Nad?”

Nadira menggigit bibirnya, tak tahu harus menjawab apa. Rasanya ia ingin berlari yang jauh, saat itu juga. Mulutnya gatal untuk memberi tahu Jayen bahwa ia bukan membencinya, ia hanya belum siap.

Tapi, siap untuk apa?

“Apapun itu, gue cuma punya malam ini buat ngejelasin semuanya ke lo. Setelah gue jelasin, lo bisa terima penjelasan gue atau enggak, it’s all up to you.” Jayendra mencoba tersenyum.

“Nad, gue minta maaf kalo misalnya lo ngerasa gue nggak serius soal hubungan kita, dan masa depan kita. Mungkin gue — ”

Stop. Gue nggak perlu penjelasan lo,” potong Nadira keras sembari menggelengkan kepalanya. “Kalau soal itu gue udah denger dari sana-sini; mulai dari lo yang ternyata fokus ngeband supaya makin terkenal dengan niat supaya lo bisa bahagiain gue, lo yang pernah punya pikiran kalo lo nggak cocok sama gue masalah ekonomi tapi elo tetep berusaha, lo yang selama tiga bulan ke belakang kayak kurang ‘hidup’ sejak putus dari gue — I’ve heard them all, Jayendra.”

Napas gadis itu naik-turun setelah menyelesaikan kalimat panjangnya dengan berapi-api. “Gue tau, gue tau lo serius sama gue.”

Sesekali Jayendra mengelus lembut kulit tangan Nadira dengan ibu jarinya, “Trus kenapa lo ngilang, Nad? Lo blokir gue, dan belum lo buka bahkan sampai detik ini. Ada apa, Nad? Gue salah apa?”

Nadira terenyak, lalu menunduk menatap tangannya yang dielus Jayendra. Pandangannya mengabur, matanya mulai panas.

“Kalau lo nggak bisa jawab, nggak apa-apa, Nad. Gue cuma pengen lo tau semua yang elo denger bener dan gue masih sayang banget sama lo, sampai hari ini.” Jayendra mengatur napasnya. “Lo cinta pertama gue, Nadira.”

Mata gadis itu kian mengabur, ia bahkan tidak bisa lagi melihat gerakan tangan Jayendra di bawah sana dengan jelas. Nadira mengerjapkan mata, kemudian sebulir air jatuh mengenai tangan Jayendra.

“Hei…”

“Gue, gu-gue yang salah, Yen…” lirih Nadira bersamaan dengan air matanya yang jatuh kian deras. Gadis itu hampir tak bisa bernapas, berusaha menahan isakannya dengan sekuat tenaga. Namun ternyata gagal, isakan pelan mulai mengudara. “Gue… gue yang sa-salah karena mutusin lo…dan lari…”

Jayendra melepaskan genggaman tangan mereka. Lelaki itu berdiri di atas lututnya dan menarik Nadira ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu menangis di pundaknya yang lebar. “Shhh, jangan ngomong dulu, tenangin diri dulu, Nad,”

Tangisannya pecah, malah semakin menjadi. Jayendra perlahan mengelus surai lembut gadis dalam pelukannya itu hingga ke punggung, dan berulang. “Nad, tenang dulu, ya…”

Gadis itu mencoba untuk meredakan tangisannya sendiri, digigitnya bibir atas untuk menahan isakannya agar tidak keluar lagi. Lalu saat dirinya sudah cukup tenang, Nadira mulai mengambil napas panjang dan berujar lirih,

“Lo nggak salah sama sekali, Jayendra, gue yang salah,” ulang gadis itu. Ia berusaha menstabilkan napas dan suaranya agar ucapannya terdengar jelas. “Gu-gue mutusin lo karena waktu itu gue kalut. Pap jodohin gue sama anak relasinya yang gue sama sekali nggak kenal. Gue udah bilang kalau gue mau sama pilihan gue sendiri, tapi Pap maksa untuk kenalan dulu.”

Nadira menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan. “Akhirnya gue pasrah dan nerima untuk kenalan dulu, waktu itu kita masih pacaran. Gue cuma nggak mau Pap ngulik tentang lo dan jadi banding-bandingin lo yang anak band sama anaknya relasi Pap yang memang anak pengusaha,”

Mam udah belain gue, bilang kalo jodoh gue nggak seharusnya ditentuin sama mereka, tapi waktu itu Pap lagi nggak bisa dilawan. Gue udah stress berat, gue nggak mau dipaksa buat udahan sama lo.”

Tatapan gadis itu tampak kosong saat menuturkan semua yang sudah ia tahan selama beberapa bulan terakhir. “Tapi setelah itu gue mikir, daripada semuanya makin runyam mending gue aja yang mutusin lo dan langsung blokir lo gitu aja, supaya elo nggak bisa ngontak gue lagi dan gue nggak kepikiran,”

“Dan supaya lo sekalian benci ke gue yang seenaknya sama perasaan lo,” gadis itu menerawang pada langit gelap yang terbentang luas di hadapannya. “Gue memang anak tunggal, orang tua gue kaya raya, tapi dalam hidup ini gue nggak pernah dikasih untuk memilih sendiri apa yang gue mau. Semua udah ditentuin. Untuk hal lain, gue mau nurut — tapi untuk masalah jodoh gue pingin nentuin pilihan gue sendiri,”

Sambil menajamkan mata, Jayendra menatap pada sosok di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tangannya bergerak untuk menyelipkan anak-anak rambut Nadira ke belakang telinga gadis itu.

“Tiap malam gue berdoa ke Tuhan biar ditunjukin yang terbaik, sampai akhirnya di suatu hari ada kabar kalau perusahaan relasi Pap ternyata terjerat kasus korupsi. Pap marah besar dan langsung batalin perjodohan. Tapi apa? Terlambat. Gue sama lo udah terlanjur putus sekitar dua bulanan, waktu itu.” Nadira menertawai kebodohannya. “Mau minta balik ke lo juga gue kayak nggak ada muka; gue yang mutusin sepihak tanpa ngasih tau duduk masalahnya, tapi gue juga yang ngerengek ke lo kan nggak lucu.”

Nadira tersenyum getir. “Akhirnya gue pasrah, gue mulai membiasakan diri hidup dalam penyesalan, tanpa lo. Sampai kejadian dua hari lalu pas lo nggak sengaja DM di akun yang gue bikin buat curhat selama ini — yang ternyata emang jadi akun besar,”

Jayendra terkekeh. “Kebetulan yang lucu,”

“Nggak ada yang namanya kebetulan, Jayendra. Itu namanya takdir.” Nadira menatap pada lelaki di hadapannya itu dalam-dalam. Tangannya perlahan bergerak naik untuk menyentuh wajah Jayendra dan mengelusnya.

Raut wajah seriusnya, tatapan hangatnya, sentuhan lembutnya, suaranya, aroma tubuhnya — semuanya, Nadira merindukan semua yang ada pada Jayendra.

“Selama dua hari ini gue nggak bisa tidur nyenyak mikirin alasan logis gimana ceritanya lo bisa kirim DM ke akun yang bahkan lo nggak tau kalau adminnya itu gue. Dan again, jawabannya berujung ke takdir. It’s like we’re just meant to be together.” Nadira menepuk dadanya pelan, “Duh, gue jadi mellow lagi.”

Dalam gelapnya malam, Nadira dapat melihat mata Jayendra yang berkaca-kaca akibat pantulan cahaya bulan. Hatinya langsung ngilu.

Gadis itu lantas memeluk Jayendra dengan erat. “Maaf, maafin gue karena nggak terus terang sama lo sejak awal. Padahal mungkin kita bisa cari jalan keluarnya bareng-bareng kalo kita diskusi. Maaf karena gue lari, Yen…”

Dalam pelukan Nadira, Jayendra menggosok matanya agar bulir pilu itu tidak jatuh dan membasahi baju Nadira. “It’s okay, Nad, udah lewat…”

Keduanya saling berpelukan dalam diam dan membiarkan angin malam membelai rambut dan kulit mereka. Hening yang tercipta dinikmati oleh keduanya dalam damai. Kehangatan menyelimuti mereka sampai ke hati, hingga tanpa sadar kedua insan itu mulai membentuk lengkungan bulan sabit di bibir mereka.

Baik Jayendra maupun Nadira perlahan melepas rengkuhan mereka. Keduanya saling beradu tatap.

Dan di tengah gelapnya malam berbintang, Jayendra mencium Nadira di bibirnya. Ciumannya tidak menuntut, tapi cukup untuk memancing lawannya agar menyambut perasaan yang ingin ia sampaikan di sana.

I love you,” bisik Jayendra di sela-sela ciuman mereka.

I love you, too…” balas Nadira dengan senyum manis menghiasi bibirnya yang langsung dilahap habis oleh Jayendra.

Yah, masa muda. Lupakanlah sejenak masalah perjodohan ini, nikmati saja malamnya.

Add a comment

Related posts:

Top 5 Scholarship Exams For Class 12th Passed Out Students

Students who have qualified class 12th exam and want to continue for further studies can apply for the scholarships as per the eligibility conditions mentioned by the individual organization. These…

Creating A Timesheet app with Microsoft PowerApps

5. Now give your site a name, mine was given the name Demo and please select Private, the click on next. 6. Your site is created? Awesome!! Let’s carry on. You should land on this page. Click on new…

When Is a Right Time To Replace Your House Locks?

Keeping your home safe, and ensuring you’re able to access your property no matter what the conditions outside are or time of day are critical for any home owner. Not being able to get inside of your…